Diskusi Rutin Gender ( 10/03/2023)
Pemateri
: Adinda Rizki Arbaningrum (Pilar PKBI Jateng)
International
Women’s Day
Berbicara
mengenai International Women's Day terdapat sejarah ataupun latar
belakang yang menjadi bukti bahwa ditetapkannya IWD pastinya terdapat momentum
penting yang meliputinya. Sejarahnya dimulai ketika adanya aksi demonstrasi oleh 15.000
perempuan di New York, mengenai upah kerja, hak milik, dan jam kerja yang
lebih singkat. Tahun 1910 Clara Zetkin mengusulkan Hari Perempuan Internasional dalam Konferensi
Internasional hingga akhirnya disepakati. Ditetapkan pada tanggal 8 Maret dengan melihat aksi
mogok kerja perempuan di Rusia. Hari Perempuan Internasional masih dirayakan
hingga sekarang karena kesetaraan gender menjadi tujuan utama peringatan yang
belum bisa tercapai.
International Women's Day memiliki
simbol berupa warna
ungu,
artinya keadilan,setia
dengan tujuan, hijau yang memiliki arti harapan, dan putih kemurnian. IWD lekat kaitannya dengan kesetaraan gender dimana mengacu pada hak, tanggung
jawab dan kesempatan perempuan dan laki-laki. Mereka berperan sesuai manusia
yang mempunyai tujuan bukan berperan karena ia dilahirkan sebagai laki-laki dan
perempuan.
Apakah terdapat
perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan?
Perempuan
itu manusia yang diberi rahim, yang membedakan dengan laki-laki yaitu
alat reproduksinya sehingga kita dapat menentukan ia perempuan
atau laki-laki.
Sebenarnya peran laki-laki dan perempuan itu tidak berbeda, mereka harusnya
mempunyai peran yang sama sebagai manusia. Jadi dalam
hal ini, dapat disebut sebagai peran manusia (laki-laki & perempuan).
Lalu, jika laki-laki & perempuan hanya dibedakan
secara jenis kelamin saja. Lantas bagaimana peran keduanya?
Peran
manusia baik laki-laki maupun perempuan dimasa sekarang dan masa yang akan
datang bisa dilakukan dengan speak up dan gunakan sosmed sebagai fasilitas untuk
menyuarakan kesetaraan
gender. Sekilas mengenai kondisi perempuan yang
bekerja sebagai buruh,
namun dalam penyebutan sekarang pembantu lebih cocok disebut dengan pekerja rumah tangga.
Karena ia mendapatkan upah dan mencurahkan fikiran serta jasa dengan
sepenuhnya, sebenarnya penyebutan pembantu
kurang sesuai karena ia pekerja bukan sebagai relawan
yang membantu dan
tidak mendapatkan upah.
Ironisnya
di beberapa pabrik para pekerja perempuan ditekan untuk menyelesaikan pekerjaan
tanpa ada istirahat, bahkan yang lebih parah pekerja perempuan tidak
mendapatkan cuti haid, hamil, dan keguguran. Singkatnya masalah tersebut
menyebabkan perempuan sulit mengutarakan apa yang selama ini dia rasakan, dan
tanpa disadari hal tersebut membunuh emansipasi wanita secara perlahan. Namun,
pada saat ini
peran kita adalah bagaiman agar undang-undang mengenai pekerja rumah tangga disahkan
dengan tujuan
melindungi para perempuan sehingga mendapatkan pekerjaan yang
layak. Selain itu, mengenai undang-undang yang sudah disahkan mengenai cuti
haid, hamil, dan keguguran harus terus disuarakan supaya hal tersebut tidak
hanya berlaku secara undang-undang saja namun juga berlaku dalam realitas
sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar